Namanya Stahn Aileron, seorang petualang muda dari kampung kecil yang bermimpi menjelajahi dunia. Ia menyelinap ke dalam kapal udara Draconis demi mencari peluang, namun takdir membawanya pada sesuatu yang jauh lebih besar: sebuah pedang kuno bernama Dymlos, Swordian api yang memilih Stahn sebagai tuannya. Saat kapal diserang oleh monster, Dymlos membangkitkan kekuatan dalam diri Stahn, dan petualangan pun dimulai.
Setelah melarikan diri dari kapal yang hancur, Stahn bertemu dengan Rutee Kartreau, seorang pemburu harta karun yang memiliki Swordian air bernama Atwight. Meskipun awalnya bersikap sinis, Rutee perlahan membuka diri dan menjadi rekan setia. Bersama mereka bergabung Philia Felice, seorang penjaga kuil yang canggung namun berhati tulus, dan Leon Magnus, pendekar muda jenius yang menyimpan rahasia kelam. Masing-masing memiliki Swordian mereka sendiri, dan bersama-sama mereka menyadari bahwa kekuatan Swordian bukan sekadar senjata, melainkan kunci untuk mencegah kebangkitan kembali Aetherians dan teknologi kuno yang bisa menghancurkan dunia.
Namun, jalan mereka tidak mudah. Di balik layar, organisasi jahat Oberon Corporation berusaha menguasai dunia dengan memanfaatkan teknologi Swordian. Ketika kelompok Stahn menyelidiki lebih dalam, mereka menemukan bahwa Leon ternyata memiliki hubungan dengan Oberon dan akhirnya berkhianat. Dalam pertarungan yang menyayat hati, Leon tewas, meninggalkan luka mendalam bagi tim—terutama Stahn, yang mulai mempertanyakan makna kepercayaan dan pengorbanan.
Meski kehilangan, mereka terus maju. Petualangan membawa mereka ke kota terapung, reruntuhan bawah laut, dan kerajaan langit. Mereka bertemu Woodrow, pangeran yang bijak dan tangguh, serta Chelsea, pemanah muda yang penuh semangat. Bersama mereka, Stahn dan timnya berjuang untuk menghentikan kebangkitan Dycroft, benteng terbang milik Aetherians yang menyimpan teknologi pemusnah massal.
Di dalam Dycroft, mereka menghadapi kenyataan pahit: Aetherians ingin menghapus umat manusia dan menciptakan dunia baru yang tunduk pada kehendak mereka. Pemimpin mereka, Cloudius, adalah sosok dingin yang percaya bahwa manusia telah gagal menjaga keseimbangan dunia. Dalam pertarungan terakhir yang penuh emosi dan kekuatan, Stahn dan teman-temannya menggabungkan kekuatan Swordian dan ikatan persahabatan untuk mengalahkan Cloudius dan menghentikan kehancuran.
Setelah pertempuran berakhir, Swordian kembali ke tempat asalnya, dan dunia perlahan pulih. Para pahlawan kembali ke kehidupan masing-masing, membawa luka, kenangan, dan harapan baru. Stahn, yang dulunya hanya pemuda biasa, kini menjadi simbol keberanian dan harapan. Ia telah menjalani takdirnya, bukan sebagai pahlawan sempurna, tapi sebagai manusia yang berani memilih jalan yang sulit demi kebaikan bersama.
Tales of Destiny bukan hanya kisah tentang pedang dan sihir, tapi tentang identitas, pengkhianatan, dan harapan. Di balik pertarungan dan teknologi, tersimpan kisah manusia yang mencari makna dalam takdir mereka—dan dalam prosesnya, menemukan kekuatan sejati dalam persahabatan dan pengorbanan.
๐ฎ Nostalgia PS1: Tales of Destiny, RPG Unik yang Masih Berkesan
Itulah kisah Tales of Destiny, game RPG yang saya mainkan beberapa dekade silam melalui konsol PS1. Bagi saya, game ini bukan sekadar hiburan masa lalu, tapi sebuah pengalaman yang masih meninggalkan kesan mendalam hingga sekarang.
Saya percaya bahwa tidak semua game RPG bisa dibilang sempurna dari segala aspek. Ada yang kuat di sistem pertarungan, ada yang unggul di cerita, dan ada juga yang menyisipkan bumbu kepahlawanan serta kisah cinta selama petualangan. Tales of Destiny menurut saya punya ciri khas tersendiri—terutama dari sisi battle system. Bukan berarti sistemnya jelek, tapi justru unik. Ada sentuhan action di dalamnya, tidak sekadar model “wait and attack” seperti RPG tradisional.
Kalau kita bandingkan dengan Final Fantasy, misalnya, keunikan battle system-nya ada pada waktu serang yang bergiliran, antara pemain dan musuh, dengan sistem perintah yang harus diatur sebelum eksekusi. Sedangkan Tales of Destiny memberi kita aksi langsung yang dinamis, lebih seperti beat 'em up berpadu RPG. Dan jujur aja, kesegaran sistem ini membuat pengalaman bertarung terasa lebih hidup.
Dari sisi cerita dan pemilihan tokohnya pun, Tales of Destiny menurut saya layak masuk kategori RPG legendaris. Setiap karakter punya konflik dan kepribadian yang kuat, dan perjalanan mereka terasa emosional dan penuh makna. Bukan hanya tentang menyelamatkan dunia, tapi juga tentang persahabatan, pengkhianatan, dan keberanian memilih jalan sendiri.
Jadi kalau kalian masih punya konsol PS1 di tahun 2025 (salut!), tidak ada salahnya untuk bernostalgia. Atau kalau konsolnya sudah hilang ditelan waktu, emulator PS1 dan ROM game-nya masih bisa kalian cari di internet sebagai alternatif. Siapa tahu, di tengah carut-marutnya sistem pemerintahan negara ini (eh, curhat dikit ๐), kita semua butuh hiburan yang menyambungkan kita kembali ke masa di mana yang penting cuma level up dan menyelamatkan dunia.
Adios Permios! ๐๐ซ